Selasa, 18 Oktober 2016

BUDAYA POLITIK

ANDILALA
UNIVERSITAS GUNADARMA
AHMAD NASHER



Budaya politik parokial ditandai dengan rendahnya minat, wawasan, serta partisipasi masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Contoh budaya politik parokial dapat ditemukan pada masyarakat pedalaman yang masih menganut sistem adat dan kepercayaan tradisional yang dipimpin oleh ketua adat dan para tetua. Mochtar Mas’ud dan Colin McAndrews mengklasifikasikan karakteristik budaya parokial sebagai berikut:
  • Ruang lingkup yang kecil,
  • Anggota masyarakat sama sekali tidak menaruh minat pada hal-hal yang berkaitan dengan politik dan pemrintahan,
  • Tidak adanya peranan politik yang bersifat eksklusif,
  • Anggota masyarakat tidak memiliki pengetahuan tentang adanya kewenangan pusat yang dikendalikan oleh pemerintah,
  • Masyarakat tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap sistem politik,
  • Sistem politik bersifat afektif.
  1. Budaya Politik Kaula
Berbanding terbalik dengan masyarakat yang menganut budaya politik parokial, masyarakat budaya politik kaula dapat dikatakan memiliki pengetahuan umum terhadap politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Hanya saja, partisipasi masyarakat dalam tipe budaya politik ini masih terbilang cukup rendah. Masyarakat yang menganut budaya politik parokial patuh terhadap peraturan pemerintah, namun banyak yang tidak melibatkan dirinya secara langsung dalam kegiatan politik seperti pemilihan umum.
Budaya politik kalula memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Masyarakat sadar akan adanya otoritas dari pemerintah,
  • Masyarakat cenderung patut terhadap aturan apapun yang dibuat pemerintah dan enggan memberikan kritik atau masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan serta pembuatan kebijakan,
  • Sikap masyarakat yang cenderung pasif dalam berbagai kegiatan politik.
  • Tingkat ekonomi dan sosial masyarakat tergolong maju, namun partisipasi dalam kegiatan politik masih rendah.
  1. Budaya Politik Partisipan
Tipe budaya politik yang satu ini dapat dikatakan sebagai budaya politik yang paling ideal di antara tipe yang lainnya. Kesadaran masyarakat terhadap politik dan pemerintahan relatif tinggi dan ditandai dengan partisipasi aktif masyarakat dalam hal pembuatan kebijakan serta pemilihan pemimpin. Masyarakat dalam sistem budaya politik partisipan sadar bahwa sekecil apapun partisipasi yang diberikan masyarakat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dapat memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara. Intinya, masyarakat dalam budaya politik kaula menyadari sepenuhnya tentang adanya sistem politik serta otoritas yang mengelolanya. Ciri-ciri budaya politik secara khusus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  • Warga sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara,
  • Warga cenderung lebih kritis dalam menanggapi setiap kebijakan yang diambil pemerintah dan perilaku para pemegang kekuasaan,
  • Warga sadar bahwa dirinya memiliki kekuatan dan hak untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu kebijakan yang diterapkan pemrerintah.
  • Munculnya keinginan masyarakat untuk turut berperan dalam kegiatan politik, contohya bergabung ke dalam suatu organisasi politik.
  • Hubungan pemerintah dan warga negara dapat dikatakan harmonis

Budaya Politik Indonesia

Budaya Politik IndonesiaBudaya politik yang berkembang di Indonesia cenderung mengarah pada karakteristik budaya politik partisipan pasca diberlakukannya reformasi pada akhir tahun 1990-an. Partisipasi masyarakat di bidang politik cenderung mengalami peningkatan seiring dengan diberlakukannya sistem pemilihan umum secara langsung yang juga menandai demokrasi di Indonesia telah tumbuh dewasa.
Afan Gaffar, salah satu pemuka di bidan sosial dan politik, mengemukakan tiga ciri dominan budaya politik Indonesia, di antaranya adalah:
  1. Adanya Sistem Hierarki yang Ketat
Sistem hierarki umumnya banyak ditemukan pada kelompok masyarakat atau suku yang menganut sistem patriarki seperti masyarakat Jawa. Hierarki pada masyarakat ini ditandai dengan adanya stratifikasi sosial yakni penguasa dan rakyat kebanyakan. Kedua lapisan stratifikasi sosial tersebut dipisahkan oleh tatanan hierarki yang ketat, seperti pola perilaku dan cara berbicara. Para penguasa atau golongan kelas atas dapat menggunakan bahasa yang kasar pada masyarakat golongan kedua. Sebaliknya, masyarakat golongan kedua dituntut untuk dapat mengendalikan tingkah laku dan cara bicara mereka saat berhadapan dengan golongan atas.
  1. Kecenderungan Patronase
Kecenderungan patonase memiliki arti hubungan politik yang bersifat individual; contohnya dapat ditemukan pada hubungan antara patron dan klien. Patron merupakan istilah bagi golongan yang memiliki sumber daya berupa kekuasaan, jabatan, dan materi, sedangkan klien memiliki sumber daya yang berupa tenaga, loyalitas, dan dukungan. Patron memiliki sumber daya lebih besar sebab dapat menguasai klien dan menciptakan ketergantungan pada diri klien atas sumber daya berupa kuasa yang dimiliki patron.
  1. Kecenderungan Neo-Patrimonisalistik
Budaya politik di Indonesia juga menunjukkan adanya kecenderungan ke arah neo-patrimonisalistik yang merujuk pada bentuk eksistensi budaya dan tradisi bangsa di tengah kemunculan ideologi modern seperti demokrasi beserta segala atributnya, salah satunya adalah birokrasi. Ciri-ciri birokrasi modern tersebut di antaranya adalah:
  • Adanya aturan-aturan yang mengatur sistem kerja sebuah organisasi serta perilaku para anggota masyarakatnya,
  • Adanya posisi atau jabatan yang memiliki tanggung jawab dan sanksi tegas,
  • Adanya strukutur hierarkis yang membagi kekuasaan dan wewenang dari posisi paling atas hingga paling bawah,
  • Adanya anggota masyarakat yang dipekerjakan berdasarkan kualifikasi tertentu untuk mengelola organisasi dan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar